Sabtu, 29 November 2008

Cerpen - Destiny's GAME by SheilandaK




Sebuah cerita cinta dari 2 negara yang berbeda....

Mahasiswi asal Kediri itu sudah mengepak semua barangnya. Ibu juga ikut membantu putri semata wayangnya itu. Shinta namanya. Dia mendapat beasiswa ke Amerika untuk mewujudkan impiannya menjadi sutradara. Mungkin semua orang di Indonesia tidak asing lagi dengan namanya. Penulis muda berbakat yang memiliki komitmen tinggi. Keluarganya bukanlah orang yang kaya. Mereka hidup bahagia dalam kesederhanaan. Sebenarnya Shinta ragu untuk meninggalkan kedua orang tuanya. Namun dukungan dari mereka dan keinginan keras Shinta, membuat gadis itu tidak menyerah.

Hari ini Shinta meninggalkan Indonesia, negara tercintanya. Negara yang kaya akan sumber daya alam. Negara yang asri dan subur. Tanah air yang telah menjadi saksi hidupnya. Pesawat Garuda Indonesia yang ditumpangi Shinta mendarat di Bandara. Kota ini, kota yang dulu hanya ada di mimpinya. Sekarang Shinta benar-benar berdiri di sini. Kota yang merupakan pusat perfilman terbesar di dunia, Hollywood. Bersama mahasiswa lain yang berasal dari seluruh penjuru dunia, Shinta menuju asrama di mana mereka akan tinggal.

Satu kamar yang berukuran 7x10 m, dihuni oleh tiga orang. Shinta satu kamar dengan gadis yang bernama Jessy dan Lin. Jessy atau Jessica Evans, dia adalah warga asli Hollywood. Posturnya tinggi dan bisa dibilang seksi. Meskipun begitu dia tidak sombong, dia adalah gadis yang baik. Rambutnya kriting dan pirang seperti milik Blake Lively. Sedangkan Lin, dia berasal dari Beijing. Tapi keluarganya telah lama bermukim di sini. Dia juga sahabat baik Jessy sejak SMA.

Hembusan angin malam kota Hollywood membuat rambut panjang Shinta berkibar. Dia sengaja datang ke taman kota bersama teman-teman barunya untuk sekedar mencari angin. Mungkin dengan begitu, Shinta juga bisa lebih akrab dengan teman-temannya. Jessy mengambil alih posisi Lin, dari samping Shinta.

"Hey Indonesian, look!" Jessy menunjuk ke arah seorang lelaki yang berdiri di seberang jalan.
"Hey American! Can you call me with my real name?" Shinta protes. Jessy selalu memanggilnya dengan nama Indonesian.
"Oops, I'm sorry! He he he, But just look at him!"
"He is our college mate, isn't he?" Jessy mengangguk. 
"Beside that, he is in the same faculty with us!" Sahut Lin.
"And then?" Tanya Shinta.
"Do you wanna be friend with him? Stay here, OK!" Jessy dan Lin pergi begitu saja. Meninggalakan Shinta 'si orang asing' sendirian. Dia tak sempat mencegah kepergian kedua temannya itu.

Shinta berdiri di antara pohon-pohon hias taman. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Mau pergi dari sini? Tidak bisa, karena ia tidak tahu jalan pulang. Jessy dan Lin juga tidak mengangkat teleponnya. Hampir setengah jam Shinta berdiri di tempat yang sama. Tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan Jessy dan Lin. Shinta mulai gelisah. Dia mulai mengira bahwa Jessy dan Lin sudah pulang ke asrama. Mereka lupa tidak membawa Shinta bersama, karena selama ini sudah terbiasa berdua saja. Rambut Shinta yang berantakan karena angin, tidak menjadi masalah besar sekarang. Bagaimana caranya pulang, itulah yang terpenting.

Bruk!

Shinta terjatuh. Seseorang menabraknya dari belakang. Seorang lelaki dengan postur menjulang. Rambutnya berwarna cokelat dengan poni panjang yang menutup mata. Model rambut Emo. Lelaki itu adalah lelaki yang berdiri di seberang jalan tadi.

"Sorry!" Katanya sambil menjulurkan tangan untuk menolong Shinta berdiri.
"It's OK! That's my fault too! I stood up in the middle of the street." Jawab Shinta. "Uhm... It's like that this is not the first time I meet you." Shinta sengaja mengatakannya. Biasanya ia adalah gadis yang pemalu, tapi daripada pulang sendirian ke asrama, dan terancam tersesat, lebih baik ia mencoba mengakrabkan diri.
"Oh, actually I feel the same way! You're a Malay, aren't you?"
"Yes I am! I'm from Indonesia."
"Indonesia? Ah, I wanna go to Bali since long time!"
"If that so, Maybe someday we can go there together."
"Exactly! Would you go home with me!"
"Of course!" Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba juga.

Shinta sangat lega. Ia bersyukur tidak jadi menginap di taman kota. Lelaki ini adalah teman pertama Shinta setelah Jessy dan Lin. Sebelumnya Shinta berpikir bahwa dia tidak akan dapat teman lagi selain dua gadis menyebalkan itu. Melihat sifatnya yang biasanya memang sulit berinteraksi.

Shinta membuka pintu kamarnya. Menemukan Jessy dan Lin sedang memakai krim malam. Dua gadis itu langsung mengeroyok Shinta dengan banyak sekali pertanyaan. Tapi tak satupun dijawab olehnya.

"Why did you leave me! You're sooooo bad! Why did you do that?"
"I'm so sorry for that, Shinta. But finally you went home with a cute boy, am I wrong!" Jawab Jessy tanpa rasa bersalah.
"Oh, So all of this thing was your planning? So you both asked that boy for crashing me, the I feel, and finally we went home together?"
Kali ini Lin yang berbicara, "No. Well, we left you there is on purpose, but we never ask him for crashing you!"
"So, how could you know that he would crash me?"
"I don't know!" Jawab Jessy. "Maybe because that's a destiny!" Jessy dan Lin tertawa di depan Shinta. Shinta semakin bingung dengan apa yang dibicarakan Jessy dan Lin.
"So how?" Tanya Jessy.
"How about what?"
"Are you guys together?"
"Together?" Shinta agak bingung dengan konteks pembicaraan Jessy. Untungnya Jessy langsung mengerti dan mencari kata lain agar Shinta lebih mengerti. Gaya bahasa Indonesia dan Amerika pasti berbeda bukan?
"Uhm,.. Date. I mean date. Are you guys dating?"
Shinta langsung melotot. "How is that possible? We just meet and.... date? That's imposible? Even I didn't knew his name yet!"
"What?" Lin dan Jessy bersamaan mengatakan itu. Mereka menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya secara bersama-sama lagi. "Shinta, come on!" Kata mereka lagi.
"You can't be like that. You have to date him for your friends." Kata Lin kemudian.
"What are you talking about?" Shinta benar-benar bingung sekarang.
Jessy angkat bicara. "OK! Listen to me! His name is Adam. Adam O'Connor. He is from Boston. He was bacame our classmate since six monts before final test."
"And he is a very b*tchy player!" Sahut Lin.
Kali ini giliran Shinta yang tertawa. "So you guys were ever being his girls?"
"Yes!" Jawab Lin dan Jessy. Ups, mereka keceplosan. Wajah mereka memerah.
"So, your actual reason why did you take me there, to the Park, is because of Adam? And you want me for being his victim like you used to be?"
"OK! I have to admit that you're smart girl. A really smart one. So now, I wanna hear your answer!" Kata Jessy.
"Ok, so my answer is.............................................NO!"
"You can't be like that."
"You're so unfaithful to your friends."
"Please, Girls. Don't do this to me. I go here to study. I have my responsibilities. And how if my parents know about this? They will be very disappointed."
"Please, Shinta!" Jessy dan Lin memohon pada Shinta. Mereka sangat kompak. Bahkan saat berbicara pun mereka sangat kompak
"Once more, I say NO!"
"Please......"
"Jessy, Lin! I'm here, for my future. I just wanna be focuse!"
"Shinta.........."

Malam ini menjadi saksi bisu perdebatan antara Shinta dan kedua kawannya. Mereka mendebatkan hal yang bisa dibilang sama sekali tidak penting sampai pagi tiba.

***


Karena dosen ada urusan, kuliah ditunda sampai 2 jam. Mungkin anak-anak rindu dengan masa-masa high school, sampai-sampai meninggalkan kelas untuk ke kantin pun enggan. Mereka lebih memilih tetap di kelas dan berlarian ke sana kemari seperti anak TK. Di tambah lagi undangan pesta ulang tahun Morgan yang baru saja selesai dibagikan. Morgan adalah wanita paling heboh seangkatan. Dengan wajah cantik juga tubuh yang indah dan seksi, tak salah jika dia jadi pujaan setiap lelaki. Menurut kabar burung yang beredar, sekarang Morgan sedang berkencan dengan si playboy Adam. Dan sepertinya kabar itu memang benar adanya. Buktinya sekarang ini, ada pasangan heboh yang sedang berjalan beriringan menelusuri koridor gedung fakultas. Benar-benar pasangan yang serasi. Membuat iri semua orang yang melihat.

Shinta hanya bisa tertawa melihat Jessy dan Lin mendengus kesal. Mereka menggerutu, mengutuki Adam dan Morgan. Berani-beraninya mereka bilang bahwa mereka benci pada Adam. Padahal jelas-jelas mereka masih menyimpan harapan. Buktinya mereka cemburu setengah mati begitu.

Pesta ulang tahun Morgan begitu mewah dengan nuansa merah yang merupakan warna favorit gadis itu. Adam menghampiri Morgan, lalu mengecup keningnya. Satu buket mawar merah yang dia sembunyikan di punggung, kini diberikannya.

Pesta yang meriah membuat semua lupa waktu. Jarum jam menunjukan pukul 02.30. Pesta anak muda yang penuh dengan alkohol dan seks. Shinta sering melihat hal ini di film, tapi rasanya aneh begitu melihatnya secara langsung.

Di sudut ruangan, Shinta, Jessy dan Lin, duduk bersama. Shinta sesekali masih tersenyum menghadapi bualan-bualan teman-temannya. Tapi Jessy dan Lin sudah tak tahan lagi berada di sini. Mereka berpamitan pada Shinta untuk pulang. Shinta memutuskan untuk tetap di sini karena tidak enak pada Morgan. George dan Sam menghampiri Shinta. Mereka menggandeng tangan Sinta untuk menuju Lantai dansa.

"Sorry, but I can't dance!"
George yang mabuk berat tertawa, "Come on!"
"No!"
Sam mengambil satu gelas vodka dan memberikannya pada Shinta. lagi-lagi ia menolak. Sampai matipun ia takkan menyentuh apalagi meminum barang haram itu. Tapi tangan George dan Sam sangat kuat mencengkeram tangannya. Shinta mulai menangis, tapi dua orang lelaki bajingan itu tak mau melepas tangan Shinta. Dengan terpaksa secuih ludah menghantam salah satu wajah dari mereka.

"You're such a jerk." Shinta pergi dengan pipi yang masih basah. Hal itu disambut suara tawa dari George dan Sam. Niat hati tetap di sana demi kesopanan pada tuan rumah, tapi ia malah diperlakukan tidak sopan. Tahu begitu tadi ia ikut pulang dengan Jessy dan Lin.

Shinta sudah sampai di taman kota. Mungkin karena hati Shinta terlalu sakit, sampai tak melihat tubuh menjulang Adam di depannya. Tabrakan pun tak bisa dihindari. Tapi kali ini tak sampai menjatuhkan Shinta seperti waktu itu.

"Sorry!" Kata Shinta menyembunyikan wajahnya yang basah, lalu pergi.

Adam melihat ada yang salah dari gadis ini, ia mengejar Shinta. Menggenggam tangan Shinta. Menggandengnya menuju bangku taman. Beberapa saat lamanya, mereka saling diam. Yang terdengar hanyalah suara jejak orang lalu lalang dan juga suara isak tangis Shinta. Dini hari begini di sini masih sangat ramai. Adam mencoba menghibur Shinta dengan berbagai cara. Diawali dengan Adam yang memasang wajah konyol. Lalu mengeluarkan suara-suara aneh. Dilihat-lihat Adam lebih mirip seorang kakak yang sedang berusaha membuat adik kecilnya tertawa, daripada sedang menghentikan tangisan seorang anak gadis. Tak berhasil. Ia kemudian berdiri, berkacak pinggang dan mulai menggoyangkan pinggulnya ke  kanan dan ke kiri, menyanyikan lagu twinkle-twinkle little star. Entah kenapa Adam melakukannya, mungkin ia hanya rindu pada Guru TK-nya. Tapi sayangnya Shinta tetap menangis. Adam jadi menyesal. Untuk apa ia melakukan hal-hal bodoh itu kalau nyatanya hal itu tak berhasil membuat gadis ini berhenti menangis.

Sekitar pukul empat pagi. Adam yang tadinya kebingungan karena Shinta tak juga berhenti menangis, sekarang masih tetap kebingungan. Tapi bukan karena tangisan Shinta, melainkan karena tiba-tiba mendengar Shinta terkekeh. Selain kebingungan Adam juga takut. Adam mengira ada roh jahat yang lancang menyusup ke dalam tubuh Shinta. Pikirannya langsung terbang ke film Exorcist yang beberapa waktu lalu sempat booming.

"You're so funny!" Kata Shinta, wajahnya memerah.
"I did that fun... ah no. That silly things an hour ago. A damn hour ago. But you're just reacting right now?" Adam benar-benar tidak habis pikir.
"I don't don't know. I was too sad, but I'm better now. And your attempt to make me stop crying was really precious. I really appreciate that." Jawab Shinta tulus.
"Okay, whatever you said. But I'm happy not to see you sad anymore! So let's go home!"
"Wait! Don't you come back to Morgan's birthday party?"
"No! We're over!" Jawab Adam santai.

Shinta kini setuju dan akhirnya mengerti bahwa anak ini benar-benar playboy kelas berat. Padahal tadi kan mereka masih berduaan. Masih saling tersenyum, mengecup kening dan bunga mawar merah itu. "You're such a Player!" Ups, secara refleks pernyataan itu terluncur. Shinta segera menepuk bibirnya sendiri.
"You said that I'm a player? Oh, that's really surprised me. Usually they didn't speak up things like that right in front of my face. Even though I know they talked behind my back. Girl, I need you to listen to me. Actually I'm not a player. Playboy is not my style."
Shinta membulatkan matanya tanda tidak setuju stadium akhir. "Stop talking non sense."
"I tell the truth. I'm not a playboy. I'm just.... boring. So that's why I changed my partner for so many time in such a short time."
"Okay, you're crazy." Shinta berjalan mendahului Adam. Adam kemudian mengejarnya hingga langkah mereka sejajar lagi.
"But actually we din't know each other yet, right? But we already go home together twice. That's kinda cute I think."
Shinta hanya memasang wajah datarnya. Adam tidak tahu saja kalau sebenarnya Shinta sudah tahu banyak hal tentang dirinya. Bahkan amat banyak.
"My name is Adam. Adam O'Connor."
"I'm Shinta. Rashinta Khumaira! Anyway, thank's for helping me to stop crying! I really mean it."
"Ah, that's not a big deal!" Dan benar kata Adam, untuk kedua kalinya mereka pulang bersama. Shinta harus mengakui bahwa ia setuju perkataan Adam di atas. Fakkta bahwa mereka sudah pulang bersama 2 kali adalah hal yang cukup imut.

***

Tiga bulan sudah Shinta menumpang tinggal di pusat perfilman dunia ini. Hari libur yang melelahkan ini, dimanfaatkan Shinta untuk untuk tidur selama mungkin. Sampai-sampai dia tak mempedulikan ajakan Jessy dan Lin untuk jalan-jalan. Mereka pun meninggalkan Shinta sendirian di asrama. Perjalanan Jessy dan Lin mengelilingi pusat kota sangatlah menyenangkan. Mulai dari menggoda pria di taman kota, keluar masuk mall, dan pastinya belanja. Benar-benar menghilangkan penat selama mereka belajar. Mereka berharap bisa memanfaatkan libur semester selama 3 bulan ini. Puas jalan-jalan, mereka pulang.

Di sepanjang jalan pulang, terdapat selebaran-selebaran yang tertempel di pohon-pohon. Masih baru karena ketika Jessy dan Lin berangkat tadi belum ada. Lin bergegas mengambil selebaran itu dari salah satu pohon.

Pengumuman

Dicari pembuat-pembuat film dokumenter handal untuk anak mahasiswa. Tunjukan kebolehanmu. Sayarat-syarat:

1. Kelompok terdiri dari minimal 4 orang. Maksimal 5 orang.
2. Genre film, adalah Romantic Drama.
3. Pengumpulan film terakhir adalah akhir semester depan.

Bagi anda yang mengaku calon sutradara handal, silakan mencoba! Sebagai hadiah, film anda akan dirilis secara resmi dan diedarkan ke seluruh dunia. Tentunya akan dibintangi oleh aktris dan aktor terkenal.

Selamat Mencoba!

Jessy dan Lin bertatap muka. Senyum segera mengembang di bibir mereka. Mereka berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. Sampai asrama, mereka segera membangunkan Shinta. Memberinya sekotak sarapan hangat dan segera memberikan selebaran tadi. Shinta tak kalah hebohnya dengan Jessy dan Lin tadi. Membuat mereka berdua terpaksa menganga karena aksinya.

"But wait! Who will be completed our group?" Tanya Jessy.
"Sh*t! You're right! We need one more member to join that event." Sahut Lin.
"How about Adam?" Shinta mengeluarkan intruksinya.
"What?" Jessy tak berani berkata apa-apa lagi.
Akhirnya Lin-lah yang menambahkan. "Shinta are you kidding me?"

Beberapa hari kemudian,
"YES I DO!" Adam bahagia sekali ketika Jessy, Lin dan Shinta menawarinya menjadi anggota. Mungkin dia berpikir, Akhirnya ada juga orang yang memanfaatkannya, tapi di jalur yang positif. Biasanya ia hanya digunakan untuk melengkapi kelompok anak-anak nakal.
"OK, now, let's discuss about our script!"
"We have to make a story plot soon!" Jawab Shinta.
"Hey hey, wait! This is just an over! Uhmm... I have a story. That's Joseph's story!" Adam angkat bicara.
"Who's Joseph?"
"Well, He's my brother. I know this is not my right because I'm new here, but his story is good enough for me. It's almost being a movie script in the past."
"Really?"
"Woah, if it's really almost becoming a movie script, so that story must be so good."
Tiga gadis itu kemudian berdiskusi sebentar. Menimbang segala hal secara teliti supaya tidak salah langkah.
"Okay, Adam. Please give that script to us then."
"You agree? Oh Thank's God. Okay I will give that script to you as soon as possible."

Sekarang mereka satu kelompok, Adam, Shinta, Jessy dan Lin. Dan ada satu lagi anggota yaitu adik Adam, Joseph. Naskah yang berjudul Destiny’s Game itu ceritanya memang benar-benar menakjubkan. Meskipun Shinta, Jessy, dan Lin belum tahu Joseph itu seperti apa, tapi mereka sudah bisa membayangkan. Joseph itu pasti, berwibawa, cerdas, sopan, dan lain-lain. Tidak seperti kakaknya yang playboy.

Ceritanya tentang kisah cinta dua orang insan manusia. Namun tak ada yang mendukung cinta mereka. Mereka dijodohkan oleh orang tua masing-masing. Yang jelas akhir dari kisah ini adalah kematian tokoh utama pria karena penyakitnya.

Pembuatan film dimulai. Meskipun sebagian besar biaya pembuatan film ditanggung Adam, tapi tetap saja yang lain harus membantu. Misalnya Shinta yang terpaksa harus diet karena jatah uang beasiswanya harus dibagi. Juga Jessy dan Lin yang harus berhenti belanja untuk sementara waktu.

Pemeran utama dalam film ini adalah Adam dan Jessy. Shinta berperan sebagai pengarah dan pengatur kamera. Gayanya sudah seperti sutradara betulan. Shinta selalu memarahi Adam yang terlalu banyak bercanda ketika pengambilan gambar. Shinta juga memarahi Jessy yang selalu gugup saat bersama dengan Adam. Sedangkan Lin, dia sekarang berganti profesi menjadi make-up artis.  Segala tatanan dan busana ialah yang mengurus.

Supaya pengambilan film yang dihasilkan lebih bervariasi, maka mereka memutuskan pergi ke Indonesia. Kesempatan pulang bagi Shinta. Pengambilan gambar akan dilakukan sedikit di lingkungan rumah Shinta, dan sisanya akan dilakukan di Bali. Namun sayangnya Joseph tidak bisa ikut serta pergi ke Indonesia.

Kedatangan Shinta dan teman-temannya disambut hangat oleh keluarga Shinta. Mereka dijamu dengan banyak makanan khas Indonesia. Pertama-tama rasanya memang aneh bagi Jessy, Lin dan Adam. Tapi lama-lama rasanya jadi enak. Mereka juga berkesempatan menonton kuda lumping, tradisi orang Kediri, yang kebetulan sedang ada. Adam berlari-lari ketika salah satu dari kuda lumping itu mulai kesurupan dan mengejarnya dengan memakan beling. Adam sangat takut jika dia ikut dimakan. Kejadian itu membuat warga sekitar tertawa. Mendadak desa ini menjadi heboh karena kedatangan bule. Apalagi saat mereka mengambil gambar di sumber mata air yang indah itu, untuk adegan kencan. Wah, benar-benar seperti sedang shooting film box office. Karena banyak sekali warga yang menonton.

Tiga hari di desa, Shinta dan teman-temannya berpamitan pada orang tua Shinta untuk berangkat ke Bali. Perjalanan ke Bali terasa sangat menyenangkan. Mereka memilih naik bus karena lebih murah. Hitung-hitung hemat biaya pembuatan film yang semakin membengkak.

Bali. Betapa indahnya tempat itu. Shinta, Jessy, Lin dan Adam memilih pantai Kuta sebagai tempat pengambilan gambar.

Kali ini Adam dituntut untuk memeluk erat Jessy. Adam dengan senang hati melakukannya, tapi banyak sekali jurus untuk membuat Jessy mau dipeluk Adam. Banyaknya turis yang datang, dimanfaatkan mereka dengan baik. Mereka diminta berdiri di sekitar lokasi pengambilan gambar dengan gaya apapun. Yang penting natural. Ajaibnya mereka mau, walau hanya dibayar dengan kata ‘thank you’. Anggap saja ini adalah bantuan Tuhan demi kesuksesan mereka.

"William, I can't be like this. I prefer die than have to be far away from you!" Viviane (Jessy) menitikan air mata. Sepertinya dia akan menjadi artis terkenal kelak.
William (Adam) berbalik. Tubuhnya yang semula menghadap pantai, kini berhadapan dengan kekasihnya. "Viane, I can't be too You know, I love you very much!"
"I love you too, Will." Mereka berpelukan, erat sekali. Seperti tak akan pernah dilepas.

Tapi pengambilan gambar yang nyaris tanpa kata ‘cut’ itu musnah sudah. Adam tak sanggup menahan tawa. Akhirnya pengambilan gambar diulang. Tapi Adam semakin tak terkendali. Sampai beberapa kali take, Adam tertawa terus-menerus. Membuat Shinta yang sudah kepanasan menjadi semakin panas. Panas dalam arti kata yang sebenarnya.

"Adam!" Teriaknya. "If you do that one more time, I will hit your head with this!" Shinta melepas sandal bakiak-nya.
"Yes, Maam!" Adam segera menuruti perkataan Shinta daripada kepalanya benjol.

Selesai pengambilan gambar, Jessy dan Lin tak pernah kehilangan akal untuk menggoda para pria Inggris yang datang. Mereka saling mengobrol entah masalah apa. Shinta dan Adam duduk bersama di tepi pantai. Sesekali ombak menerjang mereka. Adam dengan kacamata hitamnya mulai merebahkan badannya. Sebenarnya dia ingin sekali mencoba banana boat, flying fish, dan banyak lagi permainan di sini. Tapi sisa waktu libur yang tinggal sedikit, dan harus pulang ke Amerika sore nanti. Jadi mereka harus beristirahat.

"Shinta! I think.... ehmm... I think I love you."

Shinta memutar bola matanya. Sudah ia duga cepat atau lambat Adam akan mengatakan hal ini. Dasar playboy kelas teri. Meskipun tidak serius dan akan segera memutuskan Shinta, tapi setidaknya ia akting sedikit agar lebih meyakinkan. Rugi ia jadi aktor di film mereka jika nyatanya tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

"But we're friends, right?" Jawab Shinta singkat.

Adam terpaku. Baru kali ini dia ditolak. Atau mungkin memang sedang apes. Yang jelas jantungnya berdetak kencang. Entah apa penyebabnya. Adam sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya.

Shinta mengangkat jari kelingkingnya. Mengajak Adam untuk mengaitkan kelingking mereka sebagai tanda persahabatan. Jantung Adam semakin kencang berdetak. Apa ini? Apakah mungkin hatinya bersungguh-sungguh kali ini?

Sesudah pengambilan gambar di Bali, mereka rehat sejenak dalam pengambilan film. Mereka juga ingin menikmati liburan semester dengan bersantai-santai barang sebentar.

Udara begitu dingin malam ini. Salju yang perlahan mulai turun sangatlah indah. Ini adalah musim dingin pertama Shinta di Hollywood. Malam ini, mall tidak terlalu ramai. Shinta, Jessy, Lin dan Adam bersama-sama pergi untuk mencari baju. Shinta yang sibuk sendiri, membuat teman-temannya bosan. Dia berjalan di depan, sementara Adam senang sekali bisa diapit oleh Jessy dan Lin. Dia merangkul kedua gadis itu. Selanjutnya mereka makan di kafe.

***

Shinta begitu kerepotan karena Jessy harus pulang karena sakit. Lin juga pulang ke Beijing karena saudaramya menikah. Tinggallah dia sendiri dengan Adam yang tak bisa diandalkan. Malam semakin larut. Shinta masih sibuk mengedit gambar film-nya. Sesekali dia ketiduran, namun segera terbangun lagi.

Tiba-tiba pintu diketok. Shinta terkejut. Siapa datang malam-malam begini? Biasanya tak pernah ada tamu sebelumnya kecuali anak kamar sebelah. Itupun tak pernak bertamu selarut ini. Dan setahu Shinta, penghuni kamar sebelah juga sedang pulang ke kota mereka masing-masing. Shinta ragu-ragu membuka pintu, kemudian ia mengintip dari lubang kunci. Betapa kagetnya Shinta ketika tahu, Adamlah yang ada di balik pintu. Begitu rapi dengan setelan tuksedo. Shinta pun segera membuka pintu.

"What are doing here? At this time?" Shinta segera marah-marah.
"What's up?" Adam malah menyapanya ala rapper.
"This!" Adam menyodorkan sebuah kotak putih dengan pita merah jambu indah di atasnya. Shinta membuka kotak itu.
"Wow, what a beautiful dress!" Sebuah gaun putih indah berada di dalam kotak itu. "Is this dress for Jessy?"
"Jessy? Why Jessy?"
"Of course. The dancing scene, you remember?"
"Ah, that scene. But, you have to know that is's not for it." Adam berhenti sebentar. "It's for you."
"I'm sorry?"
"I want you to be my dance partner tonight. I don't need your approval, so just do it, alright?" Adam membalik tubuh Shinta dan mendorongnya. Dia menutup pintu itu dan menunggu di luar.

Beberapa saat kemuadian, Shinta keluar. Adam terpesona dengan penampilan Shinta yang luar biasa. Gaun putih itu sangat pas di tubuh Shinta. Dia terlihat cantik dengan rambutnya yang terurai panjang dan polesan make-up tipis.

Mobil Adam melaju kencang. Membawa mereka ke suatu tempat yang Shinta tidak ketahui sama sekali. Ferrari 458 hitam ini berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah. Adam menggandeng tangan Shinta. Berusaha membuat Shinta tidak gugup. Ketika mereka sampai di dalam, mereka disambut hangat oleh penghuni rumah ini. Mereka sangat ramah

"You must be Shinta?" Kata seorang wanita cantik yang menghampiri mereka bersama seorang laki-laki. Wanita itu melepaskan rangkulannya dari pinggang lelaki itu, lalu bepindah ke pinggang Adam.
"Shinta, They are my parents." Kata Adam. Shinta terkejut sekali, namun ia berusaha tersenyum. Meskipun dalam hati ia mengutuki Adam yang yang telah lancang mengajaknya ke sini, yang ternyata merupakan semacam reuni keluarga besar.

Pesta ini begitu meriah. Orang-orangnya baik dan ramah. Mereka berdansa bergantian dengan pasangan masing-masing. Tiba giliran orang tua Adam. Adam membuntut di belakang mereka dengan menarik tangan Shinta untuk ikut. Jantung Shinta berdetak semakin kencang. Bagaimana tidak? Dia sama sekali tak pernah belajar berdansa.

Tapi nyatanya di lantai dansa, tubuh Shinta serasa bergerak sendiri. Adam menuntun gerakannya dengan sangat baik. Sehingga mungkin tak terlihat bahwa sebenarnya ia tidak bisa berdansa sama sekali. Adam mengoperkan tubuh Shinta ke Ayahnya. Mereka berganti pasangan untuk beberapa saat. Selanjutnya mereka kembali ke pasangan masing-masing.

"I dont see Joseph. Where is he?"
"Joseph? He couldn't attend the event because he had so many homeworks."
"What a pitty! Actually I want to meet him so bad." Pesta malam itu diakhiri dengan acara makan bersama. Malam ini tak akan pernah dilupakan Shinta.

Keesokan harinya, di taman kota,

Shinta duduk di bangku menunggu Adam. Ia izin ke toilet sebentar, tapi sudah cukup lama belum kembali juga. Datanglah Morgan menghampiri Shinta. Ya, Morgan yang itu. Si cantik dan sexy yang menjadi idola satu angkatan. Dia duduk di sebelah Shinta. "What did you do at the Adam's house last night?" Tanyanya.

Shinta merasa tidak nyaman karena sebelumnya tak pernah berbicara pada gadis itu. Lagipula dari mana dia tahu kalau Adam dan Shinta pergi kemarin malam? "Mmm, we did nothing. He just invited me for had dinner with his families."
"So you guys are together?"
"If you mean we are dating, no we are not."
"You guys are not together, but Adam invited you for having dinner with his family. You're a really great girl." Morgan pergi begitu saja meninggalkan Shinta yang kebingungan dengan maksudnya.

Tak lama kemudian Adam datang. Mereka segera pulang. Mereka sudah keluar sejak sore dan sudah lelah keliling jalan-jalan. Shinta tak menceritakan tentang kejadian dengan Morgan tadi.

Pagi ini Shinta dan Adam berangkat ke lokasi shooting bersama. Jessy masih belum sembuh, jadi hanya menggambil adegan-adegan milik Adam saja. Sisanya nanti kalau Jessy sudah sembuh. Waktu terasa begitu cepat hingga sore sudah menjelang. Mereka sangat-sangat lelah. Shinta segera masuk ke penginapan dan membanting pintu. Tubuhnya menghantam sofa di ruang tamu. Rasanya nikmat sekali bisa berbaring seperti ini.

Shinta tersentak karena mendengar suara pintu diketok dengan begitu keras. Padahal kan ia baru saja berbaring dengan nyaman seperti itu. Shinta membuka pintu dengan ogah-ogahan dan mendapati Adam di ambang pintu.

"What happened?" Tanya Shinta dengan nada yang agak tinggi. Supaya Adam tahu kalau ia sudah mengganggu istirahatnya. "Oh my God! You're bleeding!" Pekik Shinta begitu melihat tetesan darah dari hidung Adam.
"This hurt so bad." Keluh Adam. "I still want to talk to you, but you walked so fast and slammed that door so harshly. I bet my nose will bruise so bad tomorrow."
Kali ini Shinta tak dapat menahan tawa. "So you're just kissing a door?"
"It's your fault. You don't say sorry and laugh? What the...." Adam kesal juga sebenarnya.
"I'm so sorry." Shinta malah tertawa keras. "But you're so funny."
Adam hanya bisa menggeleng. Semoga saja ia diberi ketabahan oleh yang maha kuasa.

Demi menebus kesalahannya, Shinta mengompres hidung Adam sepanjang sore. Lagipula seandainya besok hidungnya benar-benar memar, lalu bagaimana dengan film-nya. Untung Adam tidak benar-benar marah padanya.

Adam tersenyum menatap Shinta. Dilihat dari dekat seperti ini ia benar-benar sangat cantik. Ia sudah ditolak namun tetap tak bisa berhenti memikirkan Shinta. Dan anehnya ia belum bisa move-on dari perasaannya pada Shinta. Adam mulai yakin kalau dirinya benar-benar sudah insyaf.

"Shinta, Adam said that he loves you right? Don't lie to your self! We know you love him too."
"Although your're going here to study, but it's okay if you're dating someone." 
"Do you wanna waste your time? Youth doesn't come twice in this life."
"And actually I think Adam is serious now. We've been filming the movie for so long, and he didn't date anyone. That's enough to prove it."

Jessy dan Lin bergantian menasehatinya. Shinta terdiam. Dia membenarkan perkataan kedua temannya itu. Dia memang sangat mencintai Adam. Entah apa yang membuatnya tertarik pada pria itu. Yang jelas Shinta sangat mengaguminya. Tapi dia tak ingin pacaran. Dia takut, apabila dia terlalu mencintai seseorang, dia tak akan konsentrasi belajar lagi. Namun perkataan Jessy dan Lin semuanya benar, tidak enak rasanya membohongi diri sendiri. Dan lagi masa muda tak datang dua kali. Sayang rasanya jika disia-siakan.

Proses shooting film selesai sudah. Shinta segera mengedit semuanya, dalam waktu 7 hari, semua selesai. Shinta juga sudah menyimpannya di tempat yang aman. Dijamin tidak akan ada yang menemukannya kecuali Shinta. Bahkan anggota kelompok yang lain tak tahu di mana film itu disimpan oleh Shinta.

***

Liburan masih satu bulan lagi. Hari ini, Shinta membulatkan tekatnya untuk mengutarakan perasaanya pada Adam, bahwa ia juga mencintainya. Shinta berdandan cantik sekali malam ini. Dia akan datang ke taman kota. Seperti biasanya, Adam pasti di sana. Ia sengaja tidak meneleponnya. Hitung-hitung sebagai kejutan.

Sampai di taman kota, betapa terkejutnya Shinta melihat apa yang dilakukan Adam. Adam berpelukan dengan seorang wanita. Wanita yang tak asing di mata Shinta. Wanita yang juga pernah menjadi kekasih Adam. Wanita itu,... Morgan? Tak terasa air mata Shinta menetes. Semuanya salah. Adam adalah manusia yang seperti itu. Ia tak akan pernah berubah.

Adam segera menyadari keberadaan Shinta, dia berbalik mengejar Shinta. Tapi Shinta tak mempedulikannya. Dia terus berlari sampai asrama. Hatinya sakit sekali. Rasa ini belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. Adam terus mengejar Shinta. Mereka berhenti berkejaran sampai kamar Shinta.

"Shinta, I can explain anything." Adam berusaha menjelaskan.
"Shut up! I saw everything. I should know from the very first time, that You will never change." Air mata Shinta kembali menetes.
"Please, listen to me! That's not what you think."
"Get out of my room!"
"But…"
"I said get out!"

Adam berbalik, sesuatu menghentikannya. Tangan Adam bergerak memegang dadanya yang kembali terasa sakit. Pandangannya kabur. Adam masih sempat berpegangan daun pintu sebelum akhirnya terjatuh. Shinta mendengarnya dari balik pintu. Ia kembali membuka pintu dan mendapati Adam tergeletak. Gadis itu segera mencari pertolongan.

Shinta menunggu dalam diam. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Pipinya masih terus basah karena digenangi air mata. Apalagi ketika orang tua Adam datang. Mereka lansung masuk ke kamar Adam, sama sekali tak melihat atau menyapa Shinta. Shinta sendiri belum berani menjenguk Adam. Beberapa saat kemudian, Morgan datang. Dia tak langsung masuk ke kamar Adam. Dia duduk di samping Shinta.

"It's all so complicated, right?" Tanyanya. Shinta hanya menatapnya. "In the past, our parents set up our marriage. We are happy together. Even though he changed partner a lot, but he always came back to me. But them Adam loved you. He prefer you than me. He loved you at the first sight. When he crash you in city's park." Morgan tertawa kecil. Namun terlihat jelas adanya kepedihan di sana.  "A while ago we just walked around together. He felt something wrong with his chest. That's why we stopped for taking a rest. But he's not getting better. He almost collapse. So I hold him."
"Please tell me what's happening to him!" Pinta Shinta. Morgan hanya menggeleng. Tapi Shinta yakin ia tahu yang sebenarnya. Morgan lalu masuk ke kamar Adam, meninggalkan Shinta sendirian lagi. Shinta memutuskan pulang, tapi Ayah Adam menghentikannya. Pada saat bersamaan, Jessy dan Lin muncul, Shinta tadi memang menghubungi mereka karena ia tak tahu jalan pulang. Ayah Adam meminta mereka bertiga duduk. Dan Tn. O'Connor menceritakan segalanya.

***

Di sebuah rumah mewah di Boston. Rumah itu memang sedikit jauh dari keramaian kota. Tapi justru itulah yang membuat penghuni di dalamnya hidup tentram dan bahagia. Keluarga O’Connor yang bahagia dengan kedua anak kembarnya.

Adam si sulung, meletakkan gitarnya di atas sofa. Dia baru saja pulang sekolah. Melihat Ibunya sedang bersantai di ruang tamu, dia segera menghampirinya, lalu mengecup pipi Ibu tersayangnya itu. "Where is Joseph, Mom?" Tanyanya.
"In his room, Baby. How about your performance?"
"That's grreat! There are alot of girl who wanna take pictures with us."
"Wow, that's cool, my boy!" Jawab ibunya. Adam lalu berpamitan pergi ke kamar adiknya. "Adam, take your guitar to your room, first!" Seru ibunya, mengingat sifat anaknya yang ceroboh dan pelupa.
"Yes, Mom!"

Di kamar Joseph. Seperti kebiasaan Adam, rasanya tidak enak jika tidak memukul kepala adiknya dulu, padahal Joseph sedang sibuk di meja belajar. Adam segera berbaring tengkurap di ranjang.

"I need you to ride me to Noah's house, then to the production house."
"Ride you? What's wrong with your car?"
"It's broken. It's in the reparation now."
"I'm so tired and you still ask me to do those things?" Adam masih berusaha menolak.
"Take this to your bag." Joseph tak mengindahkan pertanyaan Adam. Ia justru menyerahkan naskah film-nya pada Adam begitu saja. Naskah itu telah lulus seleksi untuk menjadi naskah film terbaru. Tapi bila naskah itu tak sampai tepat waktu nanti, akan diganti dengan milik orang lain. Jadi mereka tak ingin membuang waktu. Adam sebenarnya sudah sangat lelah, tapi kalau Josep memintanya melakukan sesuatu, ia tak pernah bisa menolak. Lagipula nanti ke rumah Noah dulu kan. Jadi adam bisa bertemu dengan Sarah, adik Noah yang super sexy.

"What's happening to your legs?" Tanya Joseph yang baru menyadari bahwa Adam berjalan sedikit pincang.
"It's okay. Actually I fell off from the stage, but don't tell Mom. But I was honest that our mini concert was so successful."
"Why didn't you tell me your legs are hurting? Uhm... I will ride my self then. I just need to borrow your motorbike."
"No, I won't ever let you do that. I know you can't ride motorbike so well. I don't want to take the risk."
"But..."
"Shut up and let's go."

Motor besar itu melaju kencang. Jalanan di sini juga tak terlalu ramai, sehingga para pengendara bisa lebih leluasa. Tiba-tiba saja kaki Adam terasa sangat sakit. Adam sendiri bingung kenapa, karena kakinya hanya kesleo sedikit, dan sudah diobati tadi. Karena terlalu konsentrasi dengan rasa sakitnya, Adam tak memperhatikan jalanan. Ia menerobos lampu merah. Ada sebuah truk melaju kencang dari arah utara.

Kecelakaan pun tak bisa dihindari. Motor besar itu hancur berserakan. Karena kondisi jalan yang sepi, mereka tak segera mendapat pertolongan. Hanya supir truk yang turun dan memeriksa keadaan mereka. Ia sangat takut karena keduanya tidak sadarkan diri. Ia pun segera menelepon 911.

Pagi yang cerah di musim semi tak secerah suasana di keluarga O’Connor pagi ini. Joseph akan dimakamkan pagi ini, ia meninggal di lokasi kejadian. Ayah dan Ibu masih belum bisa pulang karena harus menunggui operasi Adam, baru nanti mereka pulang untuk menyemayamkan putra bungsu mereka. Selesai operasi, dokter langsung berbicara dengan Tn. O’Connor.

"I'm so sorry, Sir! But Adam is not good!" Dokter itu membenahi posisi kacamatanya.
"Please tell us everything."

Dokter itu mulai menjelaskan kondisi Adam pada kedua orang tuanya. Tn. O’Connor menarik napas panjang. Berusaha menenangkan hatinya. Ia juga mendekap istrinya, berusaha menguatkannya. Apa ini? Kejadian ini datang begitu tiba-tiba. Siapa yang menyangka mulai pagi ini tidak ada lagi Joseph si Genius. Joseph si calon penulis terkenal. Dan Adam si jahil tapi kreatif, kini sedang terbaring lemah dengan kondisi yang sangat tidak baik.

Satu minggu kemudian,
Adam hanya berbaring di ranjangnya, menatap naskah dengan judul Destiny’s Game yang terpampang besar di sampulnya. Seharusnya pagi ini naskah itu sudah mulai pengambilan gambarnya. Adam tahu persis ini adalah salahnya. Ia terus menyalahkan dirinya.

"It was an  accident, Son!" Orang tuanya berusaha meyakinkan anaknya.
"No! If I listened to him to stay home, and let him ride by himself, This accident wouldn't ever happen."
 
Adam telah berubah. Tak ada lagi Adam yang ceria. Tak ada lagi latihan band rutin, gitar-gitar begelantungan di kamar. Adam sudah melupakan band-nya. Teman-temannya setiap hari bergantian datang, selalu memberinya semangat. Kondisi Adam berangsur-angsur membaik. Dia sudah mulai sekolah lagi. Tapi Adam tetap tidak berhenti menyalahkan dirinya.

Suatu hari, Adam berteriak-teriak seperti orang gila. Dia menangis, melempari foto-foto keluarganya, foto-foto dirinya dan Dean yang bergelatung di ruang tamu. Orang tuanya memutuskan untuk tidak memasang foto itu lagi. Tapi tetap saja Adam seperti itu. Selain pengobatan, sekarang dia juga rutin mengunjungi psikolog-psikolog. Banyak dari mereka menganjurkan untuk pindah. Karena dengan terus mengajak Adam di sini, dia akan terus mengingat kecelakaan itu. Lama-lama dia bisa gila. Belum lagi masalah pengobatan kondisi fisiknya.

Orang tua Adam pun segera menuruti nasihat psikolog itu. Mereka pindah ke Hollywood. Sebelum pindah, Tn. O’Connor menyelesaikan urusan pengobatan Adam dari rumah sakit di Boston ke Hollywood.

"Just remember what I said to you, Sir!" Pesan dokter itu.

Tiga bulan di Hollywood, Adam sudah bisa menyesuaikan diri dengan kondisinya. Dia selalu menjalani terapi rutin. Sedangkan Operasi jantungnya akan dilangsungkan setahun sekali yang akan dilangsungkan selama 3 tahun. Jika kondisinya sudah baik maka pengobatan selesai. Tapi jika tidak ia masih harus berada dalam pantauan medis.

Minggu depan dia sudah mulai pergi ke sekolah. Karena enam bulan lagi Ujian nasional. Adam memang sudah banyak kembali seperti dulu. Tapi ia tak mau lagi bermusik. Adam bersikukuh untuk meneruskan cita-cita Joseph. Dia belum bisa berhenti menyalahkan dirinya. Orang tuanya sudah menyerah akan itu, jadi mereka biarkan saja asal Adam sehat. Lulus SMA, Adam memutuskan untuk berkuliah jurusan perfilman.  Sesuai apa yang diinginkan Joseph dulu.

***

Shinta dipersilakan masuk untuk menjenguk Adam oleh Ayahnya. Dia bersama Jessy, Lin, Morgan, Ayah dan Ibu Adam. Adam masih belum mau membuka matanya. Kata dokter kondisinya sudah stabil. Penyakitnya jarang sekali kambuh kecuali bila ia terlalu memforsir tenaganya. Kondisinya sudah tidak baik semenjak pagi, tapi ia  terlalu memaksakan diri. Hari menjelang pagi saat Shinta, Jessy dan Lin akhirnya berpamitan pada orang tua Adam.

Pagi ini Shinta menyerahkan film hasil karya mereka pada Production House yang melaksanakan event. Hari ini Shinta pergi ke Boston untuk mengunjungi makam Joseph. Ia pergi bersama Jessy dan Lin. Mereka ingin mengucapkan terimakasih atas naskah film yang luar biasa itu. Sudah malam ketika mereka sampai Hollywood lagi.

Shinta masuk ke kamar Adam. Ny. O’Connor terisak-isak dalam pelukan suaminya. Mereka menatap tubuh Adam di atas ranjang yang sudah mulai kaku. Tubuhnya ditutup oleh selimut putih rumah sakit. Shinta berjalan mendekat. Tangisannya menyeruak. Dia meraung-raung sembari memeluk tubuh dingin Adam.

Shinta membuka mata. Nafas Shinta tersengal-sengal. Cuma mimpi. Mungkin karena terlalu banyak pikiran dan lelah, makannya dia bermimpi seperti itu. Dia segera meraih jaketnya di dinding. Suara bantingan pintu membuat Jessy dan Lin juga terbangun.

"Shinta where are you going?" Teriak Lin. Mereka langsung meraih jaket masing-masing dan mengejar Shinta.

Terlambat. Ketika sampai bawah, Shinta sudah masuk ke dalam taksi. Mereka segera melambaikan tangan mereka pada taksi berikutnya. Sampai rumah sakit, Shinta berlari menuju kamar Adam. Dia melihat Adam berdiri di depan jendela. Sudah rapi dengan kemeja dan jins. Orang tua Adam sibuk mengepak barang-barang Adam. Jessy dan Lin yang baru sampai, juga langsung masuk ke kamar Adam. Mereka tersenyum menghampiri orang tua Adam.

Adam berbalik menatap Shinta. Air mata kebahagiaan Shinta tak terbendung lagi. Dia segera memeluk Adam erat. Erat sekali. Adam tersenyum. Lengannya merangkul tubuh mungil Shinta, yang seakan tenggelam dalam dekapannya.

Film Shinta, Jessy, Lin dan Adam menang. Ups, dan Joseph juga. Mereka sangat senang dengan kemenangan mereka. Mulai semester ini Adam cuti kuliah. Dia akhirnya meneruskan karir musiknya. Dan fokus dengan kondisi kesehatannya. Adam dan Shinta sudah bertukar cincin minggu lalu. Tapi mereka harus berpisah karena sibuk dengan urusan masing-masing. Sama sekali tak ada waktu untuk bertemu.

Tahun demi tahun berlalu. Shinta sangat merindukan Adam yang belakangan mulai sering muncul di TV.
Tahun ini Shinta lulus. Dia akan pulang minggu depan. Perpisahannya dengan Jessy dan Lin diwarnai dengan tawa dan tangis. Beberapa tahun ini, mereka selalu bersama. Baik dalam keadaan senang, sedih, suka, duka, bahagia, menderita dan lain sebagainya. Tapi mereka berjanji, setiap tahun akan mengadakan reuni. Mereka berpelukan bertiga di kamar asrama.

"You have to come to Beijing to visit me!" Kata Lin sambil terisak-isak.
"OK."
"Don't forget America. We will always welcome you back. And don't forget that your love is here too."

Mereka mengantar Shinta ke bandara. Sekali lagi mereka berpelukan. Perpisahan ini sangatlah berat. "Isn't Adam coming?" Tanya Lin. Sejujurnya Shinta juga bingung kenapa Adam belum datang. Jessy hanya bisa mengelus pundak Shinta untuk menenangkannya.

Pesawat transit Shinta akhirnya landing di Surabaya. Dia ingin cepat sampai rumah, sudah rindu sekali pada keluarganya karena lama tak bertemu.

Shinta terkejut ketika sampai rumah. Rupanya keluarga Shinta menyambut kedatangan Shinta dengan pesta yang meriah. Bukankah ini sedikit berlebihan? Sampai membangun tenda, seperti acara nikahan saja. Tapi ada satu hal lagi yang membuatnya urung memarahi Ayahnya karena terlalu berlebihan dalam menyambutnya. Tepat di atas panggung, ada seseorang bepakaian rapi, duduk di atas kursi dan membawa gitar. Dia tersenyum menatap Shinta. Shinta menatap sekeliling. Ada orang tua Adam, keluarga besar Adam, keluarga besar Shinta, Morgan bersama seorang lelaki, Dan… Jessy dan Lin? Mereka tersenyum tanpa dosa menatap Shinta. Jadi ia sudah dikerjai?

Pelahan suara Gitar Adam mengalun. Berbeda sekali dengan aliran musik Adam biasanya. Lagu lawas milik penyanyi asal Philiphina, Jose Marichan berjudul Beautiful Girl terlantun indah.

Beautiful girl, whenever you are
I knew when I saw you, you had opened the door
I knew that I’d love again after a long, long while
I’d love again
You said ‘hello’ and I turned to go
But something in your eyes left my heart beating so
I just knew that I’d love again after a long, long while
I’d love again
It was destiny’s game, for when love finally came on
I rushed in line only to fine that you were gone
Wherever you are i fear that i might
Have lost you forever, like a song in the night
Now that I’ve loved again, after a long, long while
I’ve loved again
Beautiful girl, I’ll search on for you
Till all of your loveliness in my arms come true
You’ve made me in love again, after a long, long while
In love again
And I’m glad that is you…
Hmmmmm… beautiful girl..

Selesai, Adam turun dari panggung. Disambut tepuk tangan dari para hadirin. Dia meletakkan gitarnya. Berjalan menuju Shinta. Dia segera memeluk erat Shinta.

"Would you marry me? I will love you for the rest of my life!" Kata Adam.
"Yes, I do!" Shinta tak bisa mengungkapkan seberapa bahagianya ia hari ini.

Sore itu juga keluarga Adam melamar Shinta. Tapi Ayah Shinta mengajukan satu syarat, Bahwa Adam harus lulus kuliah dulu sebelum menikahi putrinya. Semua orang pun tertawa.

Ya, rumitnya kehidupan hanyalah permainan takdir. Seseorang berkata, ‘Mungkin, takdir itu bercababang. Hal-hal yang mutlak memang diatur oleh Tuhan. Tapi cara pencapaiannya ditentukan oleh manusia itu sendiri. Takdir mana yang mereka pilih dari sekian banyak cabang di depan. Mereka harus memilih’. Tapi entahlah! Itu semua rahasia Tuhan. Yang jelas, Hidup hanyalah sebuah pemainan. Permainan yang menuntut para aktor dan aktris-nya untuk bermain sebaik-baiknya. Di mana yang menang, akan meraih kebahagiaan yang abadi.

~~~

Cerpen by : Sheilanda Khoirunnisa (SheilandaK)

1 komentar:

sheilandak mengatakan...

Cerpen yang sedikit panjang ini sebenarnya sudah selesai sejak akhir 2007 lalu. Tapi masih belum di edit. Bahasanya masih anak smp sekali. Uhm, juga maaf kalau bahasa inggrisnya berantakan. Saya masih belajar. Bukan bermaksud sok pintar dengan menggunakan bahasa asing, tapi ya dimiripkan saja seperti di kehidupan nyata. Kurang lebih seperti itu maksud saya. Tinggalkan komentar! Terimakasih!